Rubrik warung kopi edisi ini terinspirasi dari pengajian kehidupan di serambi rumah Ustazd Nurjayadi yang terbangun, terbentuk dari riak-riak kecil kegelisahan, desau curhat sahabat, para tamu juga sebagai respon ketika realitas menjadi “pabrik kegalauan.” Di sini kesadaran beragama dipentaskan dengan lugas. Problematikan hidup diusap, dikelola, ditangani dengan sentuhan altruistik. Sebuah adonan unik, “kue solusi” kehidupan dibentuk. al-Qur’an, dan al-Hadist menjadi pijakan utama. Lalu syariat menjadi tempat kembali, “paku kehidupan” juga rujukan yang indah. Fenomena Tukang es Versus Tukang Ojek Payung ini salah satunya.
Anwar tak henti mengulum senyum mendengar dua orang yang setiap ngopi di warungnya selalu memperdebatkan doa. Menurut tukang es hari ini Tuhan berpihak padanya. Langit terang. Panas matahari seperti menggigit. Gerah selalu mengundang orang menenggak segala hal yang dingin. Panas adalah berkah untuk seluruh tukang es. tukang krupuk, ojek motor, ojek sepeda, para peritel di seluruh mall tak urung mencicip gurihnya terik matahari. Panas selalu merayu keringat orang untuk beraktifitas. Betapa Tuhan, seperti sedang sayang padanya. Tukang es merasa hari ini tengah menang perang. Belum lagi isi dompetnya berbuih-buih.
“Memang Tuhan kamu kemana?” canda tukang es kepada tukang ojek payung. “Makanya pilih Tuhan yang benar!”
“Tuhan kita sama koq! Dia tidak kemana-mana tapi ada dimana-mana.”
“Kalau mau berdoa belajar dulu. Saya ini punya grosiran doa. Semua hebat-hebat. Situ bisa order. Apalagi ketika tidak turun hujan.”
“Kalau doa hebat itu kamu miliki secara grosiran lalu kamu jual sama aku. Tiap hari lantas langit bercucuran hujan kamu mau jualan apa?”
“Ya jualan doa. Aku pensiun dini jadi tukang es haha… Bisa jadi kamu belum tahu jurus rahasia kehebatan sebuah doa, atau mungkin doa kamu belum dewasa?”
“Kepalamu pitak! Pitak sebaskom! Enak saja. Segala bilang doa belum dewasa. Saya sudah berdoa seperti kiai-kiai ajarkan.”
“Mungkin kiainya nya benar. Tapi pendengaran kamu bermasalah.” Tukang es merasa hebat. Sebab tadi malam ia berdoa agar hari menjadi panas. Doanya diijabah, hari ini matahari tidak dikalahi hujan.
“Kuping saya sehat koq.” Jawab tukang ojek payung.
“Berarti keyakinan kamu bermasalah.”
Tukang ojek payung tidak terima keimanannya dilabel bermasalah. Ini bukan wilayah manusia, katanya, keimanan, termasuk doa bukan komoditas, bukan barang dagangan yang bisa diakali, diperjual belikan, apalagi distampel bermasalah atau tidak. Darah tukang ojek payung naik, keyakinannya terpanggang “Oke besok kita tarung doa!” tantang tukang ojek payung . “kita mubahalah (tarung doa)kecil-kecilan.” Tukang Es tak mau gengsinya turun. Ia merasa doanya lebih hebat. Merasa Tuhan lebih sayang padanya, lantas Tukang es pasang aksi, “Oke kalau besok hujan, berarti keyakinan kamu tidak bermasalah. Demi menjaga gengsi tukang es di seluruh dunia, kalau kamu menang. Besok Saya traktir kopi. Kalau perlu seluruh pengunjung saya beliin kopi. Tapi kalau kalah kamu trakir saya mie ayam.” Ini salahsatu “lelucon” masa berdoa pakai gengsi-gengsian.
Seluruh pengunjung kedai kopi Anwar tertarik. Mereka riuh. Bertepuk, bersorai, Lalu terbelah dalam dua kelompok taruhan: penyokong Tukang es dan sisanya, kelompok peduli tukang ojek payung. Begitulah manusia selalu seru dalam keanehan. Senang bersenda dalam kebodohan. Doyan bertaruh untuk ketidak-pastian.
“Curang. Masa saya dapat kopi tapi situ dapat mie ayam?” Tukang ojek payung belum mengiyakan. Ia buka Handphone browsing di seputar situs-situs meteorologi dan geofisika. Kebetulan ojek payung yang satu ini rada eksentrik, tidak gagap tehnologi. Setelah cek sekian banyak situs, sandingkan, dikomparasi, lantas sejumlah data itu di olah apakah ada kemungkinan besok hujan. Seutas senyum lalu terkembang. Bahagia merona, mirip bujang lapuk yang dapat kabar cinta yang tidak bertepuk sebelah tangan. “Oke! Kita tarung doa. Insyallah besok hujan seharian.” Para pengunjung bertepuk, apalagi kelompok peduli tukang ojek payung, mereka kegirangan. Kemenangan jadi salahsatu bayangan paling menyenangkan.
Malamnya tukang es berdoa hebat. Ia lafadzkan keinginan dengan gengsi. Tukang ojek payung tak mau kalah, ia berdoa lemah bersama seluruh kerendahan dalam diri. Ia menangis karena besok sungguh tak punya uang untuk makan. Esoknya langit menangis beberapa jam. Sisa mendung kemudian mewarnai langit seharian.
Siang di warung kopi Anwar gemuruh. Tawa, umpatan, canda ngejek dan senyum kemuraman berdesingan seperti kecamuk perang. Anwar senang, kopinya laris. Tapi ia juga tidak senang warungnya jadi ajang judi kelas teri. Beginilah kalau gerombolan “ikan teri” bertaruh, uang saku anak sekolah melayang. Kebutuhan pokok harian mengalami “poligami.” Para istri tiba-tiba menjadi vokalis rock karena sistem pencernaan dalam perut diisi uang hasil hutang. Anwar lantas menyuruh kesal,“Makanya besok judi lagi. Sekalian motor tetangga, nenek, ibu, atau bapak buat taruhan.”
Mereka tahu Anwar tak suka judi. Tapi mereka cuma senyum. Lantas tawa bermekaran ketika jagoan mereka si tukang ojek payung datang. “Awas, minggir, jangan macem-macem. Ini jagoan bukan sembarangan, doanya di dengar langit.” Tukang es yang dari tadi sudah ngopi tak berkecil hati. Pendukung lain menambahkan, “Kalau dia lagi berdoa tengah malam lalu tak sengaja hansip lewat bisa copot celananya.”
“Keren amat. Itu celana copot sendiri, apa karena saking keren doanya?”
“Bukan. Tapi karena peniti pengganti dan resleting celanaya rusak. Jadi melorot dah.” Semua tertawa. Pendukung lain tak mau kalah, “Hati-hati kalau jagoan kita ini bersin. Jangan sekali-kali berani wukuf di depan hidungnya. Sebab kalau dia bersin, lalu entah sengaja atau tidak, tiba-tiba ada setan yang lewat, cuma dengan bersinnya, itu setan mental ke Yaman,” kali ini semua terkial kial.
“Kenapa celoteh tukang es kemarin tidak dibalikkan?” kata pendukung tukang ojek payung. Tukang es yang tak mau kalah gengsi berseloroh lebih dulu, “Hai tukang ojek. Hujan ini bukan berarti doa kamu lebih hebat. Bukan berarti keyakinan kamu lebih benar. Kalau memang ini hujan karena doa kamu, kenapa tidak sekalian minta kaya. Biar pensiun dari ngojek. ”
“Yang jelas ya keyakinan saya lebih benar. Doa saya lebih hebat. Lihat dong faktanya! Masih mau berkilah lagi,” tukang ojek payung mengingatkan. Tapi jauh di dalam hati ada sesal tersirat, betul juga tukang ojek yang menjengkelkan itu. Kenapa kemaren cuma doa minta hujan. Kenapa tidak minta kaya sekalian. Inilah potret buram wajah keberagamaan kita, sudah dikasih hati minta ampela.
“Tetap saja doa saya lebih hebat. Mungkin doa saya lagi liburan.”
“Sudah hujan segede gini. Tambah mendung seharian. Masih juga berkilah, tak tercatat dalam sejarahnya ada doa berlibur?”
Anwar yang dari tadi mendengar sambil senyum tak kuasa menahan diri. “ Bukan keyakinan kalian yang lebih hebat atas yang satu pada yang lain. Kita sama-sama muslim berarti keyakinan kita sama digdaya, segaris benarnya. Tak ada klaim pembenaran atas sesama manusia. Kebenaran absolut hanya milik Tuhan. Dulu kebenaran seperti kaca besar yang diturun kan langit. Ketika sampai di muka bumi kaca besar itu pecah. Beberapa golongan manusia mengambil serpihannya. Golongan lain juga ikut ambil bagian memilikinya.”
Tukang Es manggut-manggut, “Oh ternyata kebenaran tak lebih dari kaca besar.”
“Itu sekedar ilustrasi. Metaporik? Tahu metapor ngga?” Sindir tukang ojek payung.
Anwar tersenyum, lalu kembali menuturkan, lalu pada masa yang lama, satu golongan manusia mengklaim “serpihan” yang digenggamnya adalah kebenaran sejati. Golongan lain tak mau kalah, “serpihannya” lah kebenaran tertinggi. Ini terus berlangsung sampai hari nanti, sambung menyambung dalam ruang semu kesadaran historis. Sejarah menjadi medan laga. Kebenaran gegap gempita dalam suara serdadu yang berbaris berderap berebut klaim lalu saling menghancurkan. Kebenaran tak dibedah secara hermeneutis. Tafsir nya tampil kikuk, monolitik dengan wajah beringas. Kepentingan golongan itu lah dasar dari kekisruhan. Ayat –ayat kebenaran berubah menjadi pedang dan meriam yang menggetarkan. Bahkan peperangan atas nama klaim kebenaran meninggalkan puluhan juta korban lebih ganas dari perang dunia I dan II.
Bayangkan jika seluruh tukang es, tukang krupuk, pedagang asongan dan seluruh pelaku usaha yang bergantung pada terik matahari berkumpul lalu jungkir balik berdoa, berharap langit selalu panas. Bagaimana nasib sawah dan kebun tadah hujan? Juga perut jutaan petani berserta keluarga? Dengan cara apa pohon minum, hutan menafkahi diri? Setiap hari jutaan ton air menguap dihisap matahari. Kalau panas terus. Air menguap terus. Samudera bisa kering. Lantas bagaimana ikan hidup. Bagaimana nelayan cari duit. Tukang ikan lantas jualan apa? Celana dalam?
Mereka tertawa bersamaan dengan cakrawala yang terbuka. Ternyata klaim kebenaran bukan sejawat dari sesuatu yang benar. Merasa hebat akan doa dan amal juga tidak dibenarkan. Tukang ojek payung lalu curhat. Panas kadang meninggal kan ruang memusingkan, susah cari nafkah. Waktu lalu menjadi ruang kedap doa, kata-kata dan mimpi jadi tak berarti. Doa tak punya tenaga. Tuhan seperti lagi rekreasi. Berpihak. Lebih parah lagi, kalau lagi panas, tukang ojek payung, kadang menganggap Tuhan tak berperasaan.
“Istigfar Mas!” ingat Anwar pada tukang Ojek payung. Tuhan itu lepas dari asosiasi kemanusiaan. Dia melampaui semua. Dalam seluruh kemahaan, Dia laitsa kamist lihi syai’un. Tak ada yang menyerupai Nya. Karena Tuhan Maha Pengasih juga Penyayang, maka melampaui tafsir “berperasaan” atau “tidak berperasaan.” Sebab rasa adalah wilayah manusia. Tuhan tak memiliki rasa, Ia menciptakan rasa. cuma makhluk yang butuh rasa, Tuhan tidak.
Hujan atau panas itu bukan karena doa tukang es atau tukang ojek, atau pawang hujan. Ia turun atas dasar natural selection: Sunatullah menurut istilah muslim. Dan sunatullah bergerak atas dasar satu paradigma, yaitu hukum keadilan. Bahwa Tuhan Maha Adil dan mencintai keadilan. Dan, alam selalu berpihak pada keseimbangan. Karena keadilan secara sederhana adalah keseimbangan.
Lantas, tanya Tukang es, bagaimana biar bisa kehidupan ekonomi kita seimbang? Anwar, tersenyum. “Ya belajarlah usaha lain. Buka warung makan kecil-kecilan. Ini tidak main-main, kata Anwar, kenalannya yang punya warung makan sederhana bisa gonta ganti mobil.
Maka buatlah kehidupan selalu tumbuh. menata diri yang tak kenal kata akhir. Berpuluh-puluh tahun hidup masa cuma faham ilmu tukang es? Ngga malu sama tukang ojek? Apalagi ojek payung. Profesi yang tak butuh keterampilan. Anak kecil juga bisa. Jangan habiskan hidup bergulat hanya pada satu titik. Dunia usaha itu luas. Belajarlah buka usaha lain. Jangan takut rugi. Sekolah saja bayar. Kuliah membutuhkan biaya luar biasa apalagi usaha. Jangan Begitu-gitu saja.
Boleh saja berputar di satu titik kehidupan, berkutat hanya pada satu usaha atau satu profesi. Tapi tangkaplah hikmah kehidupan dari pohon. Setelah sepuluh atau dua puluh tahun coba hitung berapa banyak cabang, dahan, terutama ranting! Betapa ia suatu jumlah yang “tak terhitung.” Masa usaha kita, manusia dengan segala anugerah yang luar biasa, kalah sama pohon yang I’tikaf di situ-situ saja. Pohon tidak takut berkembang, tidak ngeri buka cabang, walau ia tidak kemana-mana, ia tumbuh. Ia tidak takut meski semakin tinggi semakin hebat terpaan angin.
Hikmah paling menakjubkan lain adalah ketika mencapai kesempurnaan pertumbuhan ia menaungi. Rindang dan asri. Kematangan yang meneduhkan. Ekosistem bagi para makhluk kecil dan burung-burung mungil. Sebagian lain lalu berbuah. Ia dedikasikan hasil kerja itu untuk yang lain. Tak pernah ada pohon makan buahnya sendirian, apalagi sambil ngumpet. Tak ada! Bahkan tak pernah ada pohon makan “buah keringat pohon” lain apalagi dicokok, dipidana KPK.
Itulah resep sukses dari pepohonan yang patut kita teladani. Sukes bukan kemudahan. Sukses bukang barang obralan ia adalah “emas” yang digali, diolah, dipanaskan, dibakar, dilebur, lalu di bentuk menjadi logam yang mulia atau sesuatu yang indah. Tahapan-tahapan bagi emas sungguh proses yang menyakitkan. Sukses juga identik dengan masalah. Ia bersahabat dengan masalah. Tidak kalah oleh masalah. Dan tahu dari sudut mana ia akan membangun jalan keluarnya. Sekecil apapun celah itu, pandang lah sebagai awal, katup pembuka kesuksesan masa depan yang gemilang.
Kesadaran Tukang Es juga Ojek payung berpijar. mereka tidak ingin hidupnya I’tikaf pada satu titik. “Bay the way, selain dagang kopi kamu bisnis apa?” tukang es menguji. “Iya jangan-jangan Cuma bisa omong saja,” tukang ojek payung tak sekedar ingin tahu bahwa tukang kopi ini tak hanya hebat dalam bertutur. Anwar faham benar, mereka butuh bukti, dengan berbisik ia mengatakan, “Saya juga punya mobil keluaran terbaru.”
Tukang Es dan ojek payung payung melongo, “kapan-kapan saya ajak jalan. Tapi jangan hari kerja sebab mobil itu juga disewakan.” Mereka baru percaya Anwar tidak sekedar ceramah. Itupun, lanjut Anwar tidak instans, banyak kepahitan, kesulitan datang bertubi. Kesulitan-kesulitan hidup dimaksudkan untuk membuat kita mudah dan menjadi lebih baik bukan untuk membuat kisah pahit. Sebagaimana termaktub dalam Surat al-Insyiroh, “Ingatlah dalam kesulitan pasti ada kemudahan.”
Dua pedagang yang selalu bersiteru ini tergugah dari “tidur panjangnya”masing-masing. Mereka ingin bangkit, ingin melayari nikmatnya samudera rizki Allah dari profesi yang lain. Anwar kembali mengingatkan agar jangan menyerah ketika ada masalah, sungguh kesuksesan para pelaut ulung dalam menakhodai kapal tidak dihasilkan dari samudera yang tenang tapi dari gelombang besar, dari badai raksasa. Asep Djamaludin